Pengaruh Nyeri Gigi Terhadap Disfungsi Ereksi Pada Penderita Nyeri Gigi


Siapa sih yang sudi sakit gigi? Meski lagu bertajuk Lebih Baik Sakit Gigi yang dilantunkan Meggy Z. pernah menjadi hit, benarkah orang punya penilaian sama seperti syair lagu tersebut–daripada sakit hati lebih baik sakit gigi? Maklum, sakit gigi identik dengan nyeri tak berkesudahan disertai rasa pening dan sakit di sekujur tubuh. Bila gigi terasa nyeri, jangankan bekerja, hubungan seksual yang nikmat bagi hampir seluruh umat manusia pun akan ditinggalkan. Hal ini benar-benar terjadi di Makassar dan mungkin di seluruh dunia. Drg Hasanuddin Thahir, SpPerio dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, berulang kali menerima keluhan ini. Para lelaki yang datang ke tempat prakteknya mengungkapkan “dingin”-nya ranjang mereka akibat nyeri gigi yang amat menyakitkan.

“Bila sakit gigi menerpa mereka selama satu pekan, selama itu pula mereka tak menyentuh istri. Kata mereka, boro-boro berhubungan seksual, nyeri gigi ini mengganggu seluruh aktivitas keseharian,” ujar Thahir kepada wartawan di sela-sela Kongres Dokter Gigi Asia Pasifik (APDC) ke-29 di Jakarta akhir April lalu. Nyeri gigi ini, kata Thahir, terutama diakibatkan oleh caries gigi dan penyakit periodontal yang prevalensinya sangat tinggi di Indonesia. Rasa sakit di daerah tertentu, seperti pada gigi, rupanya mempengaruhi interaksi antara faktor psikoneuroendokrin dan faktor vaskular yang menyebabkan disfungsi ereksi.


BACA JUGA:  Trik untuk membantu anak-anak menyikat gigi

Tertarik dengan kondisi ini, Thahir mewakili Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan Wardihan Sinrang dari Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran–keduanya dari Universitas Hasanudin–melakukan penelitian terhadap pengaruh nyeri gigi terhadap disfungsi ereksi pada penderita nyeri gigi. Hasil penelitian ini dipresentasikan dalam kongres tersebut. Sebanyak 35 orang berusia 35-55 tahun ikut berpartisipasi dalam penelitian yang digelar akhir 2006 ini. Partisipan yang diambil adalah orang berusia di atas 35 tahun. Menurut kedua peneliti tersebut, ini karena pada pria di bawah 35 tahun, meski mengalami nyeri pada gigi, derita itu tak mengurangi gairah seks mereka.

 
BACA JUGA:  Menambal Gigi dan Cabut Gigi

Para partisipan, kata Thahir, didiagnosis mengidap pulpitis akut atau nyeri akibat gigi berlubang yang amat sangat (10 orang), pulpitis kronis (7 orang), periodontitis akut atau radang antara gusi dan gigi yang amat sangat (6 orang), serta hyperaemia pulpa atau ngilu gigi (6 orang). Semua partisipan memiliki keluhan rasa nyeri pada gigi paling sedikit selama seminggu dan selanjutnya dievaluasi setelah dilakukan perawatan. Data diambil berdasarkan wawancara dan secara tertulis. Yang menarik, seorang responden terpaksa dicoret karena meski nyeri gigi, ia tetap melakukan hubungan seksual dengan wanita selingkuhannya. “Kami memang membatasi para partisipan pada pria beristri dan tak memiliki wanita idaman lain,” ujar Thahir sembari tersenyum lebar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nyeri gigi pada pulpitis akut, periodontitis akut, dan hyperaemia pulpa (hipersensitif dentin) menyebabkan disfungsi ereksi. Nyeri gigi ini mempengaruhi rangsangan seksual sehingga frekuensi hubungan seksual secara nyata menjadi berkurang. Bahkan pada kasus pulpitis akut dan periodontitis akut, hubungan seksual pada minggu pertama dan kedua berkurang 90-97 persen. Sedangkan nyeri gigi pada periodontitis kronis dan pulpitis kronis tidak berpengaruh secara signifikan. Di samping itu, pada penderita periodontal abses, meskipun dapat melakukan hubungan seksual, aktivitas ciuman dalam hubungan seksual menurun secara nyata. “Tak bisa mencium pasangan Anda berarti menurunkan kadar keintiman,” dia menandaskan. Ia menyimpulkan nyeri yang ditimbulkan oleh penyakit gigi dan periodontal dapat mempengaruhi kehidupan seksual. “Akibatnya tentu sangat buruk. Selama satu pekan itu, kualitas hidup seseorang memburuk secara signifikan,” ia menegaskan.

BACA JUGA:  Orang Tua Perlu Menjaga Kesehatan Gigi Anak

Disfungsi ereksi pada kasus nyeri gigi, menurut Thahir dan Wardihan, diduga terjadi akibat penghambatan atau penekanan pada saraf parasimpatis sehingga tidak mampu melepaskan pengantar saraf pada otot polos korpus kavernosum, yang selanjutnya menyebabkan dilatasi pembuluh darah perifer.