Untuk mengatasi pulpitis, pasien tidak perlu lagi dicabut atau dikonservasi giginya, tetapi cukup disuntik antibiotik. Mereka yang pernah mengalami sakit gigi pasti akan merasa sangat tersiksa karena tidak jarang rasa sakit itu menjalar hingga saraf-saraf otak. Saking tak tertahankan rasa nyerinya, tidak aneh jika penderita sering uring-uringan. Dalam istilah medis, penyakit yang menyerang gigi hingga menyebabkan rasa nyut-nyutan yang tidak tertahankan itu disebut dengan pulpitis. Pulpitis merupakan sebuah peradangan pada pulpa gigi oleh bakteri semisal Streptococcus, Propionibacterium, Eubacterium, dan Actinomyces. Menurut Tetiana Haniastuti, dosen biologi mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, bakteri itu meginfeksi gigi sehingga terjadi pembengkakan di dalam pulpa yang menekan saraf sehingga menyebabkan sakit. Dia mengatakan sejauh ini untuk mengobati sakit gigi tersebut para dokter melakukan terapi dengan metode konvensional. Dokter akan melakukan perawatan saluran akar berupa pulpektomi atau pulpotomi. Pulpektomi adalah pengam bilan seluruh jaringan akar dan korona gigi, dan pulpotomi berarti mengambil jaringan akar dan korona gigi yang mengalami infeksi, sementara jaringan yang ada pada saluran akar ditinggalkan. Metode konvensional yang kerap berupa pengonservasian dan pencabutan akan merusak gigi. Teknik yang terbilang “radikal” itu dilakukan dengan pertimbangan agar penderita tidak mengalami sakit yang lebih parah. Selain itu, teknik tersebut dilakukan untuk mencegah rasa sakit menyebar ke seluruh jaringan gigi. Pada perawatan saluran akar gigi, dilakukan pengambilan seluruh jaringan pulpa yang meliputi pembuluh darah, serabut saraf, dan jaringan ikat. Hal itu mengakibatkan adanya ruang kosong yang biasanya diganti dengan bahan pengisi saluran akar, misalnya gutta percha. Perawatan saluran akar gigi secara konvensional akan menimbulkan konsekuensi pada kerapuhan gigi.
Gigi tidak kuat lagi karena struktur jaringannya rapuh. Apabila menerima tekanan yang kuat, gigi akan mudah patah. Menurut Tetiana yang juga, doktor bidang mikrobiologi oral dari Universitas Niigata, Jepang, itu lantaran keterbatasan ekonomi, tek nologi, dan pengetahuan para dokter gigi, di Indonesia pencabutan gigi merupakan tindakan yang lazim dilakukan pada pasien pulpitis. “Bahkan pasien sendiri yang meminta agar gigi mereka dicabut untuk mempercepat hilangnya rasa sakit,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Hani itu. Lebih lanjut, Hani menuturkan sebenarnya gigi yang tanggal atau ompong karena dicabut tidaklah menyelesaikan masalah. Justru, gigi ompong menjadi awal dari persoalan-persoalan lain, semisal hilangnya ruang untuk kemunculan gigi permanen.
Apabila hal itu terjadi pada gigi permanen, akan menyebabkan gigi mudah tanggal karena adanya infeksi jaringan tulang dan sendi (pocket periodontal). Hani, bersama-sama dengan Profesor Hoshino Etsuro dari Universitas Niigata, Jepang, mengembangkan metode pengobatan sakit gigi yang lebih canggih. Metode itu dikenal dengan nama Lesion Sterilization and Tissue Repair 3Mix-MP SavePulp Th erapy (LSTR). “Metode ini akan banyak mendapatkan penentangan dari kalangan praktisi kedokteran gigi. Pasalnya, LSTR mengubah banyak hal mengenai paradigma penanganan sakit gigi,” kata Hani. Tidak Merusak Menurut Hani, metode LSTR yang diaplikasikan di Indonesia tidak merusak gigi seperti halnya metode pencabutan gigi. Metode itu tetap mempertahankan vitalitas gigi dengan cara mencegah infeksi pulpa. Caranya dengan memberikan antibiotik yang dinjeksikan ke dalam pulpa. Masuknya antibiotik itu diharapkan bisa membunuh bakteri.
Ketika terjadi pembunuhan bakteri atau meredanya aktivitas bakteri tersebut, pada waktu bersamaan, terjadi regenerasi sel gigi. Adanya regenerasi memungkinkan dilakukannya perbaikan jaringan gigi, terutama di daerah pulpa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hoshino dengan cara in vitro dan in situ, kombinasi tiga antibiotik, yaitu metronidazole, ciprofl oxacin, dan minocycline, terbukti efektif membunuh bakteri oral yang ditemukan pada karies maupun lesi-lesi di saraf gigi (endodontik). Pada kasus pulpitis, pasien yang gigi permanennya dirawat dengan metode LSTR mengaku tidak lagi merasakan sakit. Selain itu, gigi berfungsi secara normal. Parameter tersebut mengindikasikan keberhasilan metode LSTR. Hani juga berhasil melakukan uji coba dengan teknik immunohistokimiawi, yaitu suatu teknik penentuan lokasi antigen (protein target) dalam jaringan atau sel menggunakan reaksi antigen-antibodi.
Serabut saraf dan sel-sel odon toblas (sel pembentuk dentin) pada pulpa gigi tetap vital. “Jika odontoblas masih vital, maka akan mampu membentuk dentin tersier sehingga terjadi perbaikan jaringan gigi,” paparnya. Selama ini, terapi endodontik akibat pulpitis harus dilakukan oleh dokter spesialis konservasi gigi yang jumlahnya belum banyak. Para ahli itu memiliki keterampilan dan peralatan khusus. Namun, dengan teknik LSTR, tidak diperlukan dokter yang memiliki spesialisasi konservasi, dokter gigi umum pun dapat mengaplikasikan metode tersebut. Selain mudah dilakukan, metode itu memungkinkan vitalitas gigi tetap dipertahankan. Dengan begitu, fungsi gigi secara normal tetap terjaga. Hani mengatakan banyak pasien mengeluh ketika harus datang berulang kali ke dokter gigi. Mereka umumnya menyayangkan banyak waktu yang terbuang untuk meng antre dan bolak-balik dari rumah ke dokter. Adanya metode LSTR menjadikan waktu periksa lebih singkat. Pasien cukup sekali datang, dan proses terapi langsung selesai. Keunggulan lain dari metode LSTR ialah biaya yang harus dikeluarkan pasien lebih sedikit. Pasalnya, metode itu hanya memanfaatkan suntikan antibiotik.
hay/L-2